Minggu, 21 Oktober 2018

Format Judul Resume

Format Jilid
Resume Sejarah Indonesia
klik >> Format Jilid Resume 
       >> Format Laporan Diskusi = Laporan Hasil Diskusi.rar



Menulis F4, A4, Polio Berbasis, Print Out materi, pakai balpoin, tinta warna hitam dan di jilid

Sabtu, 20 Oktober 2018

( PJBL-PB 6796 )

A. Pengaruh Budaya India


Perhatikan gambar di atas. Tentu kamu pernah membaca atau bahkan datang untuk melihat kemegahan candi Borobudur dan candi Prambanan. Kedua candi ini merupakan peninggalan masa Hindu-Buddha dan berlokasi di Jawa Tengah.

Candi Borobudur terletak di Kota Magelang, Jawa Tengah. Dari bentuk arsitekturnya candi itu merupakan candi Buddha. Candi yang megah itu pernah menjadi satu di antara tujuh keajaiban dunia. Kamu tentu bangga dengan peninggalan budaya itu dan harus dapat merawat peninggalan yang sangat berharga tersebut. Tidak jauh dari candi Borobudur, terdapat candi Prambanan. Candi Hindu itu terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Klaten, Jawa Tengah. Kedua candi yang megah itu merupakan bukti perkembangan agama dan kebudayaan Hindu- Buddha di Indonesia. Apa kamu pernah membaca cerita rakyat tentang Rara Jonggrang dan Bandung Bondowoso? Cerita itu yang melatarbelakangi terjadinya candi Prambanan. Benarkah hal tersebut terjadi nyata ataukah hanya sebuah mitos belaka? Kamu dapat mendiskusikannya bersama teman-teman.

Dua mahakarya itu merupakan bukti-bukti pencapaian yang luar biasa pada Dinasti Syailendra. Setelah masa dinasti tersebut surut, pusat kebudayaan dan politik kerajaan pindah ke Jawa bagian timur. Di Jawa bagian timur itu kemudian berdirilah kerajaan yang diperintah oleh keturunan Raja Mataram yang bernama Mpu Sindok. Beberapa sumber sejarah yang berasal dari Cina menyebutkan tentang adanya hubungan perkawinan antara raja Jawa dan Bali pada masa pemerintahannya.

Sementara itu, di Sumatra terdapat kerajaan yang sangat terkenal, yaitu Sriwijaya. Kerajaan yang handal menjalin hubungan dengan dunia internasional melalui jaringan perdagangan dan kemaritimannya. Dalam masa itulah para pedagang datang dari India, Cina dan Arab untuk meramaikan Sriwijaya. Saat Sumatra berada di bawah Dinasti Syailendra, kerajaan itu dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain di sepanjang Selat Malaka. Pada masa itu pula hubungan dengan India dan Cina berkembang pesat. Bahkan hubungan itu sangat berpengaruh dalam perkembangan budaya pada masa itu, bahkan hingga saat ini pengaruh kedua budaya itu masih dapat kita temui. Kehebatan Sriwijaya juga ditunjukkan dengan adanya “dharma” (sumbangan) dari Raja Sriwijaya untuk mendirikan asrama di Nalanda, India. Sriwijaya pun menjadi pusat belajar agama Buddha pada masa itu. Sumber-sumber Tibet dan Nepal menyebutkan, seorang pendeta Buddha yang bernama Atisa, belajar Agama Buddha di Sriwijaya selama 12 tahun, atas saran I-tsing, seorang musafir dari Cina yang lebih dahulu pernah singgah di Sriwijaya.

Jika mengunjungi Candi Prambanan atau candi Borobudur, kamu akan melihat kisah dalam dunia wayang. Kamu mungkin pernah mendengar tentang wayang, atau bahkan ada yang suka menonton pertunjukan wayang. Wayang sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak masa Hindu-Buddha. Melalui wayang kisah Mahabharata dipentaskan. Kisah yang hingga saat ini masih populer adalah kisah Bharatayudha. Kisah ini menceritakan tentang perang saudara antara Kurawa dan Pandawa, tentang kebaikan yang mengalahkan kejahatan. Cerita itu merupakan saduran dari India. Seorang pujangga Jawa diperintahkan oleh Jayabaya untuk menulis cerita itu dalam versi Jawa. Jayabaya adalah Raja Kediri yang kekuasaannya tidak dapat ditentang oleh kerajaan-kerajaan lain. Raja ini pula yang dikenal karena kehebatan ramalannya. Selain Mahabharata juga dikenal cerita tentang Ramayana. Dari kisah Ramayana itulah disebutkan adanya Jawadwipa, pulau yang kaya dengan tambang emas dan perak.


Nama Jawadwipa juga sudah dikenal oleh seorang ahli geografi Yunani, Ptolomeus, pada awal tarikh Masehi dengan nama “Labadiu”. Jadi nama Kepulauan Indonesia sudah ditulis dan dikenal oleh penulis Barat jauh pada masa awal Masehi. Ptolomeus menyebutkan bahwa Pulau Labadiu artinya Pulau Padi atau dikenal pula dengan Jawadwipa. Nah, bagaimanakah agama Hindu dan Buddha dapat masuk di Kepulauan Indonesia? Banyak ahli yang berpendapat tentang itu. Pada bab ini kita akan belajar tentang masuk dan berkembangnya pengaruh-pengaruh India dan Cina, serta capaian-capaian yang dilakukan para penguasa pada masa itu dan proses masuknya agama Hindu dan Buddha. Pada saat ini pula peranan pedagang, penguasa, dan pujangga sangat terlihat dari bukti-bukti capaian budaya yang hingga kini masih dapat kita jumpai.

Satu di antara bangsa yang berinteraksi dengan penduduk kepulauan di Indonesia adalah bangsa India. Interaksi itu terjalin sejalan dengan meluasnya hubungan perdagangan antara India dan Cina. Hubungan itu yang mendorong pedagang-pedagang India dan Cina datang ke kepulauan di Indonesia. Menurut van Leur, barang yang diperdagangkan dalam pasar internasional saat itu adalah barang komoditas yang bernilai tinggi. Barang-barang itu berupa logam mulia, perhiasan, berbagai barang pecah belah, serta bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Dua komoditas penting yang menjadi primadona pada awal masa sejarah di Kepulauan Indonesia adalah gaharu dan kapur barus. Kedua komoditas itu merupakan bahan baku pewangi yang paling digemari oleh bangsa India dan Cina. Interaksi dengan kedua bangsa itu membawa perubahan pada bentuk tata negara di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia. Juga perubahan dalam susunan kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Sejak saat itu pula pengaruh-pengaruh Hindu-Buddha berkembang di Indonesia

Tanda-tanda tertua adanya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia berupa prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Sungai Cisedane, dekat Kota Bogor saat ini. Juga di Jawa Barat dekat Kota Jakarta. Selain itu kita juga dapat melihat peninggalan kebudayaan Hindia itu di sepanjang pantai Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muarakaman, Kutai. Menurut para ahli sejarah kuno, kerajaankerajaan yang disebut dalam prasasti-prasasti itu adalah kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur bersumber dari perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Interaksi dengan orangorang dari negara lain itulah yang kemudian mempengaruh cara pandang para raja-raja saat itu untuk mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang para ahli dan para pendeta dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau Brahma.

Beberapa bukti menunjukkan, setelah budaya India masuk, terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, kerajaan tertua di Muarakaman, Kalimatan Timur, yaitu Kerajaan Kutai mendapat pengaruh yang kuat dari budaya India yaitu budaya yang dikembangkan oleh Bangsa Arya di lembah Sungai Indus. Percampuran budaya itu kemudian melahirkan kerajaan yang bersifat Hindu di Nusantara. Baik itu yang mencakup dalam sistem religi, sistem kemasyarakatan, dan bentuk pemerintahan. Suatu hal yang sangat penting dalam pengaruh Hindu adalah adanya konsepsi mengenai susunan negara yang amat hirarkis dengan pembagian-pembagian dan fraksi-fraksi yang digolongkan ke dalam empat atau delapan bagian besar yang bersifat sederajat dan tersusun secara simetris. Semua bagianbagian itu diorientasikan ke atas, yaitu sang raja dianggap sebagai keturunan dewa. Raja dianggap keramat dan puncak dari segala hal dalam negara dan pusat alam semesta


Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan zaman modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia. Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.


Sebelum kebudayaan India masuk, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih oleh anggota masyarakat. Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui tentang adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik. Ia juga dianggap sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus dapat melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya. Setelah masuknya budaya India, terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja seperti halnya di India. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan tetapi diturunkan secara turun temurun. Raja merupakan penjelmaan dewa yang seringkali disembah oleh rakyatnya. Para Brahmana agama Hindu tidak dibebani untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu. Mengingat hal tersebut, maka menjadi menarik dengan adanya agama Hindu di Indonesia. Bagaimana dapat terjadi bahwa orangorang Indonesia yang pasti pada mulanya tidak dilahirkan sebagai Hindu dapat beragama Hindu. Demikian pula dengan sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya yang berkembang di Lembah Sungai Indus adalah sistem kasta. Sistem kasta mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsabangsa yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya.Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar terbentuknya kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna

Awal hubungan dagang antara penduduk Kepulauan Nusantara dan India bertepatan dengan perkembangan pesat dari agama Buddha. Pendeta-pendeta Buddha menyebarkan ajarannya ke seluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghitungkan kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya. Mereka mendaki Himalaya untuk menyebarkan ajaran Buddha di Tibet. Dari Tibet mereka melanjutkan ke arah utara hingga sampai ke Cina. Kedatangan mereka itu biasanya disampaikan terlebih dahulu, sehingga ketika tiba di tempat tujuan mereka dapat bertemu dengan kalangan istana. Mereka biasanya mengajarkan agama dengan penuh ketekunan. Mereka juga membentuk sebuah sanggha dengan biksubiksu setempat, sehingga muncul suatu ikatan langsung dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan para biksu dari India ke negara-negara lain itu, memunculkan keinginan para penduduk daerah setempat untuk pergi ke India mempelajari agama Buddha lebih lanjut. Para biksu lokal itu kemudian kembali dengan membawa kitabkitab suci, relik, dan kesan-kesan. Bosch


Gambar : Arca Buddha dan Bodhisattwa dari sabong pelangi


Gambar : Arca Awalokiteswara

menyebut gejala ini dengan “arus balik”. Pengaruh Buddha di Indonesia dapat dijumpai pada beberapa temuan arkeologis. Satu bukti adalah ditemukannya arca Buddha terbuat dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan. Menurut ciri-cirinya, arca Sempaga memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan. Arca sejenis juga ditemukan di daerah Jember, Jawa Timur dan daerah Bukit Siguntang, Sumatra Selatan. Di daerah Kota Bangun, Kutai, Kalimantan Timur, juga ditemukan arca Buddha. Arca Buddha itu memperlihatkan ciri seni area dari India Utara. Kalau begitu kapan kebudayaan Hindu-Buddha dari India itu masuk ke Kepulauan Indonesia?

Gambar:  Arca Buddha

Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hinduisasi. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut: Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Namun, teori Ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Selama ini belum ada ahli yang dapat menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya ekspansi dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada semangat petualangan para kaum ksatria.

Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan bahwa kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang. Pada saat itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang menyebabkan mereka tergantung pada musim angin dan kondisi alam. Bila musim angin tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih lama untuk menunggu musim baik. Para pedagang India pun melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan kebudayaan India. Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk datang ke Asia Tenggara adalah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan.

Ketiga, teori Brahmana. Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa Hinduisasi di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu, adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agar mereka menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.

Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik. Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Artinya, orang-orang di Kepulauan Indonesia terutama para tokohnya yang pergi ke India. Di India mereka belajar hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha. Setelah kembali mereka mengajarkan

dan menyebarkan ajaran agama itu kepada masyarakatnya. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan pandangan F.D.K. Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri atas kaum terpelajar yang mempunyai semangat untuk menyebarkan agama Buddha. Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh masyarakat. Selanjutnya karena tertarik dengan ajaran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk memperdalam ajaran itu. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses Indianisasi adalah suatu pengaruh yang kuat terhadap kebudayaan lokal.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat di Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat pada masa itu.


unduh klik  Materi Resume
                   Soal / Pembahasan Resume
                   Cara Mengerjakan Resume
                   ADIK SIMBA
         
         
         

( PJBL-PT 8983 )

Perkembangan Teknologi

Gambar : Cobek, peralatan dari batu yang
masih digunakan sampai sekarang


Coba amati gambar di atas. Gambar apa dan untuk apa kira-kira? Gambar itu merupakan gambar peralatan rumah tangga yang sudah sangat lama dikenal di lingkungan ibu rumah tangga di Indonesia, apalagi di Jawa. Yang jelas peralatan itu terbuat dari batu yang merupakan warisan nenek moyang. Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat kita
Berikut ini kita akan membahas tentang teknologi bebatuan yang telah dikembangkan sejak kehidupan manusia purba.

Perlu kamu ketahui bahwa sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan
masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and error.

Mula-mula mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para
ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I,
dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum.


1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini. Seorang ahli, von Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas.
Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih.Alat-alat itu oleh Koenigswald digolongkan sebagai alatalat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koenigswald ini kemudian dianggap kurang tepat.


Gambar 1.24 Kapak perimbas (chopper):

Alat batu inti atau serpih yang dicirikan oleh tajaman monofasial yang membulat, lonjong, atau lurus,
dihasilkan melalui pangkasan pada satu bidang dari sisi ujung (distal) ke arah pangkal (proksimal).
Ciri yang membedakan kapak perimbas dengan serut adalah ukuran dimana serut yang kasar
dan masif digolongkan sebagai kapak perimbas, sementara yang halus dan kecil digolongkan serut.


Gambar 1.25 Pahat genggam (hand adze)

Alat batu inti yang dicirikan oleh bentuk alat yang persegi atau bujur sangkar dengan tajaman yang tegak lurus pada sumbu alat. Selain itu dikenal pula Kapak genggam awal (proto-hand axe), Kapak genggam (hand axe).

setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia. Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan hingga saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada jenis manusia Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir.

b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alatalat ini sering disebut dengan flakes. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.

Gambar : Artefak dari tulang



Gambar : Artefak jenis flakes

Gambar : Artefak alat batu yang ditemukan di situs Sangiran dan Ngebung

2. Antara Pantai dan Gua

Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flakes dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.


a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi bahwa manusia purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.

Gambar:  Kjokkenmoddinger yang terdapat di Pulau Bintan, Kep. Riau


Gambar:  Batu Pipisan

Gambar : Kapak Genggam

b. Kebudayaan Abris Sous Roche 
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaanini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah, flakes, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.

3. Mengenal Api
Bagi manusia, api merupakan faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik, aktivitas manusia sehari-hari hampir dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak. Pelajaran dan pengetahuan apa yang kamu peroleh melalui uraian tersebut?

Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara


Gambar : Sisa-sisa pembakaran

membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang. Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan
dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan
api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang,

atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api. Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan
sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan
di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum dapat
terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam.

4. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman batu yang dapat dikatakan paling penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan
sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing.
Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.

a. Kebudayaan Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan
dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa
dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor,

Gambar : Kapak persegi

Gambar : Batu asahan


Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian

b. Kebudayaan Kapak Lonjong

Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar. Perlu kamu ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan. Penemuan
dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan adalah jenis batuan
kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper.


Gambar: Gerabah

Jenis-jenis batuan ini di samping keras, sifatnyayang retas dengan pecahan yang cenderung tajam
dan tipis, sehingga memudahkan pengerjaan. Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang
baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun
kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini dapat diamati pada situs Kedunggamping di
sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya
menggunakan bahan andesit untuk peralatan.


Gambar : Perhiasan Batu

c. Perkembangan Zaman Logam
Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh bendabenda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya nekara.


Gambar: Nekara

5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)
Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu manusia sudah mulai merancang sebuat tempat.
Bentuk arsitektur pada masa praaksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang berkembang pada masa praaksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan seharihari, tetapi juga kehidupan spiritual. 


 Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk membantu dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakanoleh manusia praaksara untuk berburu binatang.

Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar
di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang memberikan secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat berburu yang masih sangat
tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung tak teratur seperti aliran sungai, dan pola spiral seperti route yang ditempuh mungkin adalah citra pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mengutamakan arah utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa praaksara konsep tata ruang, atau yang saat ini kita kenal dengan arsitektur itu sudah mereka kenal.


                                                 Gambaran hunian manusia purba
Gambar: Pola Lukisan tangan yang ditemukan di Indonesia


unduh klik  Materi Resume
                   Soal / Pembahasan Resume
                   Cara Mengerjakan Resume
                   ADIK SIMBA
           
           

Jumat, 19 Oktober 2018

( PJBL-CK 9068 )

Corak kehidupan Masyarakat Masa Praaksara


1. Pola Hunian
Mengamati Lingkungan
Coba kamu amati baik-baik gambar di atas. Gambar itu menunjukkan salah satu pola hunian masyarakat praaksara. Mengapa memilih tinggal di gua? Untuk memahami pola hunian manusia purba kamu dapat mengkaji uraian berikut

Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan tentang pola hunian manusia purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan
maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.


2. Dari berburu meramu sampai bercocok tanam
Sering kali kita mendengar aktivitas pembukaan lahan di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita juga sudah melakukan hal serupa. Pola hidup

berpindah-pindah dan melakukan aktivitas bercocok tanam demi kelangsungan hidup mereka. Bagaimana pendapat kamu mengenai kesamaan aktivitas dari dua kehidupan manusia yang terpisah jarak jutaan tahun tersebut? Untuk mendapatkan pemahaman tentang aktivitas bercocok tanam manusia purba di Kepulauan Indonesia silahkan telaah bacaan berikut.


Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan manusia zaman praaksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada manusia Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar. Mereka juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan. Masa manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai. Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang

tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk melakukan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang dapat ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu juga sudah ada pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Bagaimana pendapat kamu tentang hal ini dan kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh manusia modern sekarang ini? Kegiatan manusia bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan.

Seiring kedatangan orangorang dari Yunan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.

3. Sistem Kepercayaan
Sebagai manusia yang beragama tentu kamu sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya sebentar sehingga tidak boleh berbuat menentang ajaran agama, misalnya tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh rakus, bahkan melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain. Karena itu dalam hidup ini manusia harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling menolong. Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa karena melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain. Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati.

Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah sistem kepercayaan manusia
zaman praaksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam berbagai bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang
yang meninggal. Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang digunakan sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya
seni cukup bagus pada masa sekarang. Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.


Gambar : Menhir yang ada di Limapuluh Koto


Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan hidup di alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barangbarang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.

Gambar  Sarkofagus atau kubur batu

Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus.

Batu-batu besar ini menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman praaksara,

seorang dapat dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan bahan wadah
kubur dapat digunakan sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus
misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan
tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai
indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat. Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar
seperti dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang.
Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme
ada benda-benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat
dihormati dan dikeramatkan. Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila
ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini sampai sekarang masih dapat kita temui dibeberapa daerah.

Unduh klik  Materi Resume 
                    Cara Pembuatan Resume
                    Soal / Pembahasan Resume
                    ADIK SIMBA
            
            

( PJBL-TO 9197 )

Teori Out of Africa dan Out of Taiwan
========================================
Dalam tinjauan akademis yang komprehensif tentang asalusul nenek moyang Indonesia, maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia dengan bumi Nusantara. Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud dengan Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville seorang penjelajah berkebangsaan

Prancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk yang berkulit hitam dan berambut keriting di kawasan Pasifik, dalam pertemuan Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831. Menurut Harry Truman, pada sekitar 60.000 tahun yang lalu ada sekelompok orang yang dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan laut hingga mencapai Kepulauan Nusantara. Mereka adalah Homo sapiens yang dalam buku literatur disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu Afrika, mereka tidak mempunyai tempat tujuan. Teori ini oleh para ahli disebut sebagai Teori Out of Africa. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana mereka dapat menemukan ladang kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam dapat diatasi, dari generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di tempat baru itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk mempertahankan hidup. Mereka meramu dari berbagai umbi-umbian dan buah-buahan yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari batu dan bahan organik, seperti kayu dan bambu. 

Waktu terus berlalu, perubahan alam karena iklim dan geografi juga populasi yang terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan tetapi pasti mereka mengembara mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian menyebar hingga ke wilayah timur Kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun semakin meluas. Pengalaman yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kemampuan berlayar dan membuat rakit, serta teknik-teknik membuat alat transportasi laut yang lebih kuat dan nyaman. Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk menunjukkan arah saat berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekologi yang berbedabeda. Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan baru untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan yang baru.

Pada saat berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan besar dalam berbagai hal. Kenaikan muka laut yang dratis mendorong penduduk di Kepulauan Indonesia melakukan persebaran ke berbagai arah. Persebaran mereka ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang saat itu mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap di tempat hunian yang baru itu. Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga populasi terus meningkat. Para ahli menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup menyebar ke guagua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka juga semakin berkembang.

Peralatan dari batu semakin beragam, peralatan dari bahan organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan  mereka. Keanekaragaman dalam peralatan manusia pada saat itu semakin mendorong produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam berbagai bidang. Kemajuan dalam bidang seni pada saat itu ditandai dengan lukisan-lukisan cadas yang terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran. Kepercayaan pada kehidupan sesudah mati juga terkonsepsi dalam perilaku kubur terhadap orang yang meninggal. 

Kemudian pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu,Kepulauan Indonesia kedatangan orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya baru yang seringkali disebut dengan budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang Kepulauan Indonesia kedatangan orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya baru yang seringkali disebut dengan budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang  menetap dan domestikasi hewan dan tanaman. Pendatang yang berbicara dengan tutur Austronesia ini diperkirakan datang dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi juga kemungkinan Kalimantan. Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke berbagai pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain tampaknya berasal dari Asia Tenggara Daratan. Mereka menggunakan bahasa Austroasiatik. Mereka ini dapat mencapai Kepulauan Nusantara bagian barat melalui Malaysia. Teori inilah yang seringkali oleh para ahli disebut sebagai teori Out of Taiwan. Pertemuan para pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak dapat dielakkan, sehingga terjadi kohabitasi. Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi hingga mereka melakukan perkawinan campuran. Interaksi budaya dan dalam beberapa hal silang genetika pun tak dapat dihindari. Proses interaksi yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang sekarang lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.

Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih dominan di bagian timur Indonesia. Sekalipun kecil porsinya, genetika Papua ada hampir di seluruh wilayah bagian barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di masa lalu terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.

Demikian pula dari sudut penggunaan bahasa, Kepulauan Indonesia yang mempunyai lebih dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai Papua. Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup saat ini adalah bahasa Non-Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini tidak selalu. Bahasa Austronesia juga dapat ditemukan di daerah pedalaman Papua Nugini. Gambaran itu menunjukkan adanya pola migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari barat ke timur. Berdasarkan data itu nyatalah bahwa hubungan Austronesia dan Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling terjalin indah

 unduh klik Materi resume
                   Cara pembuatan resume
                   Soal / Pembahasan Resume
                   ADIK SIMBA

Negrito dan Weddid

Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta kepulauan

Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti. Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang; kulit mereka coklat tua dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna)

Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia saat ini. Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa Austronesia (Melayu Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera 

Senin, 15 Oktober 2018

Melanesoid

Melanesoid

Ras lain yang juga terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, mereka tergolong rumpun Melanesoid. Menurut Daldjoeni suku bangsa Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di sekitar Papua dan Papua-Nugini. Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Papua berawal saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu

Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut menjadi beku. Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan saat ini.
Pada saat itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia menuju kawasan Oseania.


Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubungan dengan Papua.
Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu jiwa meliputi wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleotikum. Pada saat masa es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 jiwa. Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada
saat itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. 
Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta
akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahanbahan yang ringan. Rumah-rumah itu sebenarnya hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan menempel pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan aktifitas lainnya dilakukan di luar rumah. Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan
percampuran dengan ras baru itu. Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan
Maluku.
Peta Maluku

Senin, 08 Oktober 2018

Deutero Melayu



Deutero Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian utara. Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga dengan orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada rasa Proto Melayu. Mereka dapat membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini dapat dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga menggunakan jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yang hingga sampai Madagaskar.

Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah ras Deutero Melayu.

Kamis, 04 Oktober 2018

Proto Melayu

Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian
selatan. Ras Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian
ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantaipantai

Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu
Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo

Kehidupan mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras Proto Melayu sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban baru dalam kehidupan mereka. Persebaran
suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.


Ringkasan


Senin, 01 Oktober 2018

Mengenal Manusia Purba X

 

Mengamati Lingkungan

Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia.
Pengakuan tersebut tentu didasari berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari masa lalu. Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di luar Sangiran.
Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut. 
 
Untuk memahami jenis dan ciri-ciri manusia purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.
Peninggalan manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat. 
 

Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang
paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
 
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern. Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
 
Perhatikan baik-baik gambar fosil manusia purba di samping, fosil itu juga disebut sebagai Sangiran 17 sesuai dengan nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
 
Tugas:
1. Rangkum materi berikut dan
2. Isi pertanyaan dan kirim ke wa grup
 
1. Dimana letak Situs Sangiran?...
2. Siapa yang menemukan Situs Sangiran?
3. Fosil apa yang ditemuakan?...